Kembang Menur
"KEMBANG MENUR" ditandur ing pinggir sumur, yen wes makmur ojo lali karo sedulur"
"MENUR", merupakan tosan aji yang digunakan untuk mengisi mahkota payung kebesaran atau payung agung (songsong) bagi seorang raja, bangsawan, atau priyayi pada masa lampau. Bentuknya beraneka macam mirip dengan tombak, yang paling banyak adalah bulat runcing, akan tetapi ukurannya jauh lebih kecil. Jaman dahulu payung songsong dengan atribut warnanya memiliki aturan (pakem) tersendiri yang merupakan salah satu tanda kepangkatan atau kedudukan seseorang. Karena tempatnya di dalam payung, menur tidak seperti tosan aji lainnya, hampir tidak pernah dicuci dan diwarangi. Diyakini oleh sebagian masyarakat sebagai simbol pengayoman atau pelindungan, penolak hal-hal negatif, hingga sarana pendongkrak kharisma. Karena kecilnya, sejak pertengahan abad ke-20 tombak menur ada yang digunakan sebagai ‘isian” tongkat komando, terutama bila pemiliknya seorang tentara, polisi atau duduk di pemerintahan.
penempatan menur pada payung songsong
FILOSOFI, Orang Jawa menyebut bunga melati yang kelopak bunganya biasa (tunggal) ya disebutnya melati, akan tetapi jika memiliki kelopak bunga bertumpuk atau susun disebut dengan menur. Bunga yang melambangkan kesederhanaan ini tumbuh liar dan berbunga kecil. Warnanya yang putih dan tidak mencolok melambangkan kesucian dan keelokan budi. Bunganya yang kecil menegaskan keberadaan siapa kita di hadapan Sang Pencipta, menyadarkan kodrat manusia, sebagai makhluk Tuhan yang sempurna namun tidak sempurna. Aroma harum yang lembut dan tidak menusuk hidung memberikan relaksasi. Dari filosofi bunga menur di atas kita dapat belajar arti dari nilai kesederhanaan. Meskipun payung songsong terkesan mewah dan merupakan atribut kebesaran, dengan kehadiran menur di dalamnya akan menjadi sebuah pengingat (lokal wisdom) untuk menampilkan kemewahan yang sederhana, tidak berlebihan namun tetap sakral. Juga mengingatkan tingkah laku yang baik sebagai orang timur. Sebagai bangsa yang ramah, gemah ripah loh jinawi, kesederhanaan yang mencerminkan keelokan budi pekerti yang memberikan kenyamanan dan ketenangan bagi siapapun. Karena kita kecil, tidak ada apapun yang pantas disombongkan dihadapan manusia apalagi di hadapan Tuhan sang pemilik hidup dan mati.
"MENUR", merupakan tosan aji yang digunakan untuk mengisi mahkota payung kebesaran atau payung agung (songsong) bagi seorang raja, bangsawan, atau priyayi pada masa lampau. Bentuknya beraneka macam mirip dengan tombak, yang paling banyak adalah bulat runcing, akan tetapi ukurannya jauh lebih kecil. Jaman dahulu payung songsong dengan atribut warnanya memiliki aturan (pakem) tersendiri yang merupakan salah satu tanda kepangkatan atau kedudukan seseorang. Karena tempatnya di dalam payung, menur tidak seperti tosan aji lainnya, hampir tidak pernah dicuci dan diwarangi. Diyakini oleh sebagian masyarakat sebagai simbol pengayoman atau pelindungan, penolak hal-hal negatif, hingga sarana pendongkrak kharisma. Karena kecilnya, sejak pertengahan abad ke-20 tombak menur ada yang digunakan sebagai ‘isian” tongkat komando, terutama bila pemiliknya seorang tentara, polisi atau duduk di pemerintahan.
penempatan menur pada payung songsong
FILOSOFI, Orang Jawa menyebut bunga melati yang kelopak bunganya biasa (tunggal) ya disebutnya melati, akan tetapi jika memiliki kelopak bunga bertumpuk atau susun disebut dengan menur. Bunga yang melambangkan kesederhanaan ini tumbuh liar dan berbunga kecil. Warnanya yang putih dan tidak mencolok melambangkan kesucian dan keelokan budi. Bunganya yang kecil menegaskan keberadaan siapa kita di hadapan Sang Pencipta, menyadarkan kodrat manusia, sebagai makhluk Tuhan yang sempurna namun tidak sempurna. Aroma harum yang lembut dan tidak menusuk hidung memberikan relaksasi. Dari filosofi bunga menur di atas kita dapat belajar arti dari nilai kesederhanaan. Meskipun payung songsong terkesan mewah dan merupakan atribut kebesaran, dengan kehadiran menur di dalamnya akan menjadi sebuah pengingat (lokal wisdom) untuk menampilkan kemewahan yang sederhana, tidak berlebihan namun tetap sakral. Juga mengingatkan tingkah laku yang baik sebagai orang timur. Sebagai bangsa yang ramah, gemah ripah loh jinawi, kesederhanaan yang mencerminkan keelokan budi pekerti yang memberikan kenyamanan dan ketenangan bagi siapapun. Karena kita kecil, tidak ada apapun yang pantas disombongkan dihadapan manusia apalagi di hadapan Tuhan sang pemilik hidup dan mati.
Terima kasih kak. Bagus sekali. Sangat bermanfaat.
BalasHapus