Waliyullah Wanita Bernama Sulthanah

Oleh Fahmi Faqih **
Malam itu, udara kota Mekkah begitu dingin, angin tajam
terasa perih menggerus kulit. Seorang lelaki tua, seorang
sufi yang masyhur namanya, Abdul Qadir Jilani, berjalan
sendirian memasuki gerbang kota yang terlihat samar
dalam gelap, menuju Ka’bah, Rumah Tuhan itu. Dalam
hati, Abdul Qadir mengucap dengan penuh rasa syukur.
“Ya Allah, terima kasih atas cuaca baik yang telah Kau
datangkan untuk menemaniku bersujud kepadaMu.”
Beginilah sifat dan perilaku manusia yang hatinya telah
dipenuhi oleh cinta. Situasi yang jelas-jelas tidak
bersahabat, yang sering kali kita mengeluh karenanya, di
hadapan orang seperti ini malah diterima dengan
kegembiraan yang tulus sebagai karunia.
Setelah melewati gerbang kota, Abdul Qadir tiba-tiba
dikejutkan oleh cahaya terang yang terlihat berputaran
mengelilingi Ka’bah. Abdul Qadir tidak dapat memastikan
benda apakah yang ada di sana, karena jarak antara dirinya
dan Kab’ah, masih jauh dari langkah. Namun perlahan,
seiring tapak kakinya yang semakin dekat, Abdul Qadir
tahu, sosok putih itu bukanlah sebuah benda, melainkan
manusia.
Keterkejutan Abdul Qadir kiranya tak hanya sampai di sini.
Yang lebih membuat sufi besar ini takjub, adalah
kenyataan bahwa manusia yang ia lihat adalah seorang
perempuan setengah baya dengan sebelah kaki yang
buntung pula! Sisa darah, masih terlihat jelas di lukanya.
Perempuan itu berthawaf – ibadah mengelilingi Ka’bah
sambil berdoa – terlihat begitu khusuk hingga tidak
merasakan kehadiran seseorang yang berdiri tertegun
memandanginya.
Abdul Qadir seketika itu juga mengurungkan niatnya untuk
thawaf dan memilih menunggui perempuan itu
menyelesaikan dulu thawafnya. Setelah perempuan itu
selesai dengan thawafnya, Abdul Qadir lalu datang
menghampiri sembari memberi salam padanya.
Perempuan itu berpaling seraya menjawab salam sang
guru. Abdul Qadir bertanya.
"Siapakah engkau, wahai perempuan salehah. Dari mana
asalmu, dan apa yang menyebabkan sebelah kakimu
buntung?"
Perempuan itu kemudian bercerita tentang dirinya dan
sebab yang menjadikan kebuntungan kakinya.
“Wahai Abdul Qadir, saya tinggal di luar kota, arah utara
dari Baitullah ini. Saya seorang janda dengan anak yang
usianya belum genap setahun. Beberapa hari lalu, saya
dirundung perasaan rindu ingin datang Rumah Suci ini.
Akan tetapi karena anak saya selalu menangis jika malam
tiba, rasa rindu itu hanya bisa saya simpan dalam hati.
Sebab walau bagaimana pun saya tidak mungkin
meninggalkan anak saya dalam keadaan menangis meski
dengan dalih rindu yang paling menyesakkan sekalipun.
Dan saya yakin, Tuhan tidak akan pernah menerima ibadah
yang saya tunaikan dengan menelantarkan anak saya.
Sampai tadi malam selepas shalat Isya, anak saya kembali
menangis. Bahkan kali ini tangisannya sangat keras
melolong-lolong, seakan ada sesuatu yang menakutkan
dalam penglihatannya. Dengan hati sedih, saya angkat
anak saya dari tilam tipis yang kami punya.
Saya pangku ia, saya coba menenangkannya dengan syair
puji-pujian yang dulu sering dinyanyikan almarhumah ibu
saya. Saya terus bernyanyi. Saya terus bernyanyi dengan
syair puji-pujian itu sambil mengusapi kepala anak saya.
Perlahan-lahan, tangisan itu mereda, mata itu mulai redup.
Dan nafas yang mulanya tersengal itu, mulai tenang
kembali. Anak saya tertidur. Anak saya tertidur di atas
paha saya. Namun, bersamaan dengan itu rasa rindu saya
semakin tak tertahankan.
Laksana gunung, ia terus menerus menghimpit perasaan
saya! Saya ingin pergi mengejawantahkan rindu saya, saya
ingin secepatnya menghadap Tuhan, saya ingin berkhidmat
di Rumah SuciNya. Tapi bagaimana dengan anak saya
yang sedang tidur? Dalam kebingungan itu saya teringat
pedang almarhum suami saya yang tergantung di dinding
tempat saya bersandar duduk. Jaraknya hanya sejengkal
dari kepala saya.
Tanpa pikir panjang, saya lalu mengambil pedang itu dan
memotong paha yang jadi bantal tidur anak saya! Wahai
Abdul Qadir, kamu tahu apa yang rasakan ketika pedang
itu mulai memotong paha saya? Sedikit pun saya tidak
merasakan sakit! Yang ada hanya perasaan lega karena
dengan demikian saya bisa pergi menunaikan kewajiban
saya kepada Tuhan dengan tetap menjalankan kewajiban
saya sebagai seorang ibu kepada anaknya."
Mendengar penuturan ini, diceritakan, ruh Syekh Abdul
Qadir naik ke Lauhul Mahfudz – sebuah tempat di langit
ke tujuh di mana nama-nama dan peristiwa tercatat. Akan
tetapi sesampainya di sana, Abdul Qadir tidak menemukan
nama ibu itu. Ini sangat aneh bagi Abdul Qadir, karena
menurut kebiasaannya, setiap orang yang dipilih oleh Allah
sebagai waliNya di muka bumi, nama mereka pasti
tercatat di Lauhul Mahfudz.
Belum lagi selesai rasa heran atas kenyataan yang
ditemuinya, setelah ruh itu kembali ke jasadnya, sebelum
Abdul Qadir menanyakan kebingungannya, perempuan itu,
ibu yang sangat penyayang itu, sudah mendahului Abdul
Qadir dengan perkataan.
"Wahai Abdul Qadir, engkau tidak perlu bersusah payah
mencari tahu namaku di Lauhul Mahfudz. Namaku
Sulthanah, dan Tuhan telah menempatkan namaku
bersanding dengan para Nabi di tempat khusus di
sisiNya."
Setelah mengatakan ini, ibu itu pun pamit, pulang kembali
ke rumahnya. Pulang kepada anak tercinta yang tidur lelap
di atas potongan pahanya. Tak lama kemudian meneteslah
airmata Abdul Qadir, tak kuasa menahan perasaan hatinya
yang bahagia karena telah dipertemukan dengan
perempuan mulia seperti Sulthanah. (*)

Bangkalan, 8 Mei 2016

Komentar

Postingan Populer