Hutang Bank

*SK PNS SEBAGAI JAMINAN HUTANG BANK*
Oleh: Zahro Wardi

Sudah menjadi rahasia umum dalam masyarakat kita bahwa Sertifikat tanah, BPKB, SK PNS, DPR dan SK sejenis, sering dijadikan jaminan hutang piutang. Alasan dari masing2 pelaku sangatlah beragam. Mulai dari alasan terdesak pelunasan hutang saat magang, biaya besar menyekolahkan anak di PerguranTinggi ternama, biar gajinya "nyantol" dg sesuatu yg nilainya besar (istilah Jawa; Upaya membelikan uang dg sesuatu yg awet. Biar tidak habis pakai begitu saja), untuk tambahan modal usaha (dan Survei membuktikan bahwa 90% pelaku dagang pasti nge-Bank), sampai untuk kebutuhan sekunder bahkan tersier. Misal tujuan gagah2an mobil mewah, rumah megah, de el el.
Kalau kita bicara hutang di Bank, artinya tidak lepas dari pembahasan Bunga Bank. Bunga dalam utang piutang pasti dlm pandangan agama berkonotasi negatif. Apalagi akhir2 ini viral di Medsos dan Youtube tentang seorang "Ustad" yg menvonis "Riba Tanpa Embel-Embel" terhadap pelaku Peminjam Bank.
Lantas, bagaimana sesungguhnya fiqh menyikapinya??
Dasar dan esensi hutang piutang itu harus dilihat dari dua sisi.
*Pertama*, Sisi Si Pemberi utang (Muqridl), dimana memberi pinjaman(utang) adalah amal yg sangat mulia. Bahkan sebagian ulama melabelinya dg "Amal afdlol" dibanding shodaqoh. Sebab orang berhutang itu pasti butuh, sementara shodaqoh belum tentu yg menerima membutuhkan. Oleh sebab itu, karena dasar menghutangi adalah menolong, Nabi melarang fihak yg mmberi piutang *men-syaratkan* fihak yg diberi piutang (Muqtaridl) mengembalikan lebih.
كل قرض جر منفعة فهو ربا
"Setiap utang piutang yg menarik kemanfaatan (bagi penghutang) adalah riba."(HR. Harits bin Abi Usamah).
Sebab orang mau meminjami, asal yg pinnjam mau mengembalikan lebih, ini sama seperti orang ngasih minum orang kehausan sambil menempeleng. "Nulung" tapi disertai "Menthung".
Jadi kunci keburukan disini terletak pada *Syarat/Perjanjian* mengembalikan lebih. Bukan atas inisiatif dan kerelaan Muqtaridl.
*Kedua*, Sisi Si Peminjam (Muqtaridl). Sebagai fihak yg ditolong tentu wajar sebagai makhluk sosial untuk "Berterimakasih" kepada yg menolong. Nabi Muhammad SAW memberi tauladan saat beliau berhutang "Unta yg masih Kecil" pada seseorang, Beliau mengembalikan dengan "Unta Besar" yg usianya 6 tahun. Saat Sahabat Abi Rofi' RA menanyakan tentang hal itu Nabi Menjawab:
إن خياركم أحسنكم قضاء
" Sebaik-baik manusia adalah orang yg mengembalikan piutang dg sesuatu yg lebih baik dari pinjamanya" (HR. Muslim).
Dari uraian diatas, fenomena utang pada seseorang atau diBank dengan berbagai jaminan dan mengembalikan lebih (bunga) harus dikaji secara utuh. Sehingga rumusanya tidak sertamerta tidak boleh atau sebaliknya. Sebab dizaman akhir ini tidak mudah mencari pinjaman cuma2. Seseorang tidak akan bisa merasakan "siksaan" tekanan butuh uang memaksa dan mendesak kecuali pelakunya.
Sebenarnya posisi Si Peminjam (inipun kalau utang piutang berbunga yg menyalahi prosedur) bukanlah pemakan riba. Maksimal dia adalah "I'anah 'alal maksiat" alias membantu terjadinya pelanggaran syariat yakni dg terpaksa mengasih bunga pada Muqridl. Disinilah pentingnya jawaban yg "Fair" secara fiqh. Dan jangan lupa, pertimbangan *Tashowuf* (hati nurani untuk menilai esensi) harus menjadi salah satu pertimbangan.
Imam Malik berkata:
“MAN TASHOWWAFA WA LAM YATAFAQOH FAQOD TAZANDAQO, WA MAN TAFAQOHA WA LAM YATASHOWWAF FAQOD TAFASAQO, WA MAN JAMA'AHUMA  FAQOD TAHAQOQO”.
Artinya:
"Barang siapa berfiqh tapi meninggalkan tashowuf, maka dia (berpotensi) Fasiq. Barang siapa bertashowuf dg meninggalkan fiqh, maka ia berpotensi Zindiq. Barang siapa menggabungkan keduanya maka ia akan Tahqiq (menemukan kebenaran sejati)."
Barangkali gambaran "Legal-Halal" dalam pinjaman berbunga, kurang lebih sebagai berikut:
1. Dilakukan dalam kondisi sangat butuh atau terpaksa.
2.Tidak membahas bunga dalam transaksi. Kalau ada, dibahas diluar transaksi.
3. Ikhlas dalam memberi kelebihan pengembalian.

Dari point-point ini sebenarnya secara fiqh, riba tidak terjadi bila point no 2 saja terpenuhi.
Sedangkan Point No 1 dan 3 dijadikan acuan sisi tashowufnya.
Dan yang paling penting, hidup itu akan terasa indah dan nyaman apabila kita pandai bersyukur. Berusahalah dg sungguh2, dan terima apapun hasilnya. Hidup berkecukupan itu relatif. Hidup enak dan tidak enak itu sawang sinawang. Biar kita terus bersyukur, lihatlah orang2 yang nasibnya sebawah kita. Janganlah mudah berhutang kalau tidak terpaksa. "Sesungguhnya, ada atau tidak ada bunga, hutang itu adalah penjara".
Wallohul Musta'an..
(Referensi Semua Kitab Fiqh Besar, Bab Al-Qordl).

Komentar

Postingan Populer